[Review Indo-Seri] Si Doel Anak Sekolahan Season 1 (1994): Ketika Interaksi Karakter Jauh Lebih Menarik dari Plot Cerita

Si Doel adalah sebuah legenda iconic dipertelivisian nasional. Perolehan penonton film-film sekuel dari sinetron ini bisa menjadi bukti betapa masyarakat masih mencintai franchise ini. Saya tidak ikut hype film Si Doel, karena memang saya bukan generasi penikmat sinetron Si Doel. Tapi tentu saya penasaran apa yang membuat sinetron ini begitu legendaris, sebuah masa dimana Indonesia sedang mengalami masa keemasan di pertelevisian, dan masih menanti entah kapan untuk bangkit. Akhirnya, berkat WFH, saya punya kesempatan untuk menuntaskan rasa penasaran.

1986036811.jpg

Si Doel pertama mengudara pada tahu 1994, dan berdasar informasi di internet, Si Doel Anak Sekolahan ini menggunakan konsep season. Saya sendiri terkejut melihat jumlah episode season pertama Si Doel yang hanya mencapai 6 episode saja. Ceritanya sendiri memang sederhana, mengenai SI Doel sebagai orang Betawi melawan stigma budayanya untuk mencapai pendidikan tinggi, target cerita musim ini pun hanya sekedar usaha Si Doel untuk lulus, setelah lulus, season 1 berakhir.

Secara plot memanglah sangat sederhana. Si Doel hanya ingin menyelesaikan kuliahnya. Problem yang dihadapi pun tidak bertele-tele, Si Doel anak yang pintar dan mudah bergaul sehingga tidak ada masalah soal akademisinya dan sosialnya. Permasalahan Si Doel hanyalah kondisi ekonomi, hal yang membuat Babehnya Si Doel pontang panting usaha menjual tanah. Sembari menunggu Si Doel lulus inilah, muncul berbagai cerita-cerita ringan yang akan menggerakan plot selama 6 episode kedepan.

Si Doel membangun dunianya dari keluarga SI Doel, jadi season 1 ini sangat dimanfaatkan untuk membangun pondasi untuk pusat dunia cerita ini. Dari sini kita melihat bagaimana kondisi keluarga Si Doel dengan segala stigma dan budaya Betawi yang menjadi motivasi premis, kenapa cerita soal usaha lulus kuliah ini menarik? Jawabannya karena Doel adalah orang Betawi.

Dalam cerita ini, Rano Karno yang tampak ambisius dengan jobdesknya sebagai produser, sutradara, sekaligus aktor utama, sangat terlihat punya visi mulia. Betawi yang baru saya tahu dari sinetron ini, bahwa dulu mereka dipandang sebelah mata dengan stigma kampungan, malas, bodoh, tidak mementingkan pendidikan -semua ini tergambar dari soundtrack sinetron ini, kalian bisa lihat diliriknya- dan memang bukan sekedar stigma. Dalam sinetron ini, lingkungannya pun memang seperti itu, dan kalau mau jujur, bukan cuma Betawi yang punya masalah itu, banyak suku dikota lain pun menghadapi masalah yang sama sehingga secara universal, Si Doel membawa tema yang mewakili masyarakat Indonesia kebanyakan. Nah, denga kondisi lingkungan seperti itulah, kenapa kasus Doel tampak begitu menarik.

Banyak sekali isu-isu mulia yang ingin disampaikan disini, namun yang membuat saya kagum adalah bagaimana sinetron ini tidak berambisi untuk menyelesaikan masalah, tidak untuk menggurui, tidak mencoba untuk membeberkan isu-isu itu sejelas mungkin, tapi justru dengan cara sekedar menggambarkan saja, memperlihatkan realita yang ingin dibawa, hanya sekedar itu. Sebagai contoh mari kita lihat,  bagaiman Si Doel menyempilkan isu partriarki dan feminis. Ketika kita melihat bagaimana kondisi keluarga Si Doel, kita melihat Si Babeh Sabeni, si kepala keluarga, adalah sosok bossy yang kalau kita tonton dijaman sekarang pasti bakal memaknai secara campur aduk adegan-adegan interaksi  Babeh dan istrinya. Begitupun bagaimana para karakter cewek dikeluarga Doel dalam memandang diri mereka sendiri sebagai wanita, seperti Si Nyak yang mengamini tugas wanita dalam pengertian fungsinya secara konvensional atau tradisional, atau Atun yang harus mengalah sekolah hanya sampai SD demi memuluskan langkah abangnya jadi anak kuliahan. Tapi bukan berarti sinetron ini tidak membawa isu feminis didalamnya, hal itu bisa kita lihat dari munculnya karakter Sarah sebagai love interest Doel yang tampak menjadi media masuknya sudut pandang lain soal makna wanita. Nah hebatnya, sinetron ini tidak mengambil posisi untuk membenarkan atau menyalahkan sesuatu, sinetron ini lebih memilih untuk sekedar menyajikan realita yang ada, memaparkan keresahannya, tanpa harus menghakimi pilihan karakter-karakternya yang dimana sinetron ini paham pilihan itu dihasilkan dari sesuatu yang rumit berupa latar belakang dan berbagai hal yang memengaruhi dibaliknya. Disini saya bisa melihat betapa revolusionernya pemahaman Rano Karno pada isu-isu penting dan kejeniusannya memasukan isu itu dalam produk sinemanya.

Bukan cuma isu feminis, saya juga takjub bagaimana sinetron ini berhasil mengemas isu-isu lainnya yang begitu akrab dengan kebanyakan masyarakat saat itu, termasuk saya yang meski bukan orang Betawi. Seperti soal bagaimana banyak orang masih menganggap pendidikan tidak penting, pemikiran yang sangat lumrah terjadi juga pada lingkuangan saya dahulu.

Di season ini kita benar-benar dibuat jatuh cinta dengan keluarga Doel. Mulai dari Atun yang saya dibuat simpati karena Atun selalu jadi korban dan tidak diprioritaskan keluarganya, si Mandra sebagai comic relief yang menyenangkan, Si Nyak yang selalu berusahan sebagai penengah dan penetral dari sikap Si Babeh, Babeh sendiri mulutnya begitu pedas namun bukan berarti tidak sayang pada keluarganya -bahkan adegan Babeh saat ngobrol berdua sama Si Doel sore-sore ngebahas keinginannya melihat Doel jadi Tukang Insinyur adalah adegan yang paling heartwarming disinetron ini, meskipun motivasinya sekilas tampak buat gengsi. Sementara SI Doel, meski saya personal tidak merasa nyaman dengan acting dan karakteristik peran Rano Karno yang generic, tapi seiring berjalannya waktu saya juga jadi bersimpati dengan Doel, berkat kekuatan plot.

Tapi spot yang cukup besar diserahkan pada Sarah dalam usahanya mendekati Doel, sebuah subplot yang menjadi penggerak utama cerita season ini. Sarah dan Hans, sahabat Doel, adalah 2 karakter yang sama menyenangkannya diseason ini. Saya suka alasan Sarah mendekati Doel untuk urusan skripsi, meski saya ga tau apa dahulu emang lumrah tidak adanya ijin penelitian untuk objek penelitian skripsi mereka, tapi terlepas dari itu saya suka ide bagaimana Sarah menjadi mata penonton awam untuk melihat keluarga Doel. Meskipun untuk konteks romance, saya kurang sreg dengan bagaimana perasaan Sarah muncul begitu saja disaat sebelumnya tidak ada kejadian berarti atau bahkan obrolan yang bisa memunculkan perasaan cinta, tapi untuk selanjutnya hingga akhir, chemistry mereka terjalin dengan baik. Diparuh akhir season, saya suka interaksi Doel dan Sarah dimana tampak tatapan kagum dan respect dari keduanya karena kesamaan pandangan terhadap pentingnya pendidikan. Sarah kagum sama Doel karena meski dari latar belakang keluarga Betawi dia tetap berjuang kuliah, sementara Si Doel kagum bagaimana Sarah dalam posisinya sebagai perempuan memandang makna pendidikan, menurut saya sih gitu.

Jadi, memang kalau bicara plot ya hanya soal itu. Si Doel ingin menyelesaikan kuliah, ditengah kondisi keluarganya yang seperti sudah dijelaskan, dan dalam kondisi didekati oleh Sarah. Formula plotnya memang sudah terlihat untuk eksplorasi tema kehidupan sehari-hari, tema yang sudah dipakai dalam sinetron Indonesia dari dulu samapi sekarang. Namun dengan tema dan plot yang sederhana dan sebenarnya bukan sesuatu yang sangat menarik, sinetron ini tetap berhasil menarik karena interaksi karakternya.

Interaksi karakter, atau dialog-dialognya memanglah senjata utama sinetron ini. Memanfaatkan budaya nyablaknya para orang Betawi, sinetron ini dengan mudah menghibur dengan komedi-komedi verbal dan slapsticknya berkat guyonannya Mandra, Babeh Sabeni, dan Atun. Sementara untuk polemik serius berhasil dinarasikan dengan menarik melalui perbincangan-perbincangan serius Doel dengan kedua orang tuanya, juga dengan Hans dan Sarah.Interaksi-interaksi itu pula lah yang berhasil mengantarkan isu-isu penting masuk natural realistis dan tak terasa dipaksakan, berhasil dilafalkan menggunakan bahasa yang dimengerti audience-nya.

Interaksi dalam sinetron ini terasa special bagi saya personal karena saya sendiri selalu punya masalah pada interaksi atau dialog yang ada pada sinetron-sinetron Indonesia. Dialog-dialog pada sinetron ini terasa hampir sempurna selalu menyenangkan untuk disimak. Satu-satunya minus diaspek interaksi ini ada pada wilayah lingkungannya Sarah dan Hans, yang mungkin diperngaruhi kemampuan acting mereka juga. Tapi ketika berada diwilayah lingkuangan keluarganya Si Doel, interaksi begitu menyenangkan, yang mungkin juga dipengaruhi para cast senior yang luar biasa macam Benyamin Sueb dan Aminah Cendrakasih, begitu juga Mandra dan Suti Karno yang bermain baik.

Kini saya mengamini kelegendaan sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Bagaimana sinetron ini tidak Cuma asal, melainkan memikirkan segalanya memasukan berbagai teori dan mengaplikasikannya pada visual kampung begitu juga bahasanya, perpaduan ini adalah jalan tengah luar biasa sebagai formula tontonan televisi Indonesia, dibuat oleh mereka yang ahli, dipahami oleh penonton dari berbagai kelas masyarakat. Kemampuannya memotret masyarakat pinggiran patut diacungi jempol, berangkat dari keresahan mereka, untuk konsumsi mereka.

About osyad35

Hai...

Posted on May 8, 2020, in Tontonan, TV Series and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment