[Review Indo-Movie] Pocong The Origin (2019): Satu Lagi Horor Indonesia yang Punya Style Unik

Beruntung semangat berkreativitas dalam membuat horror masih ada. Masih ada creator yang berlomba-lomba untuk memberikan sesuatu yang baru. Semenjak Pengabdi Setan, berbagai horror dengan varian barupun muncul meski Pengabdi Setan itu sendiri bukan salah satunya. Ada Mereka yang Tak Terlihat yang lebih focus ke drama, ada Kafir yang punya gaya slowburn dengan sentuhan local yang kuat, ada Sebelum Iblis Menjemput dengan horror-satanic-teror ala barat yang belum ada di Indonesia, bahkan proyek remake-an Suzzanna pun digarap serius dengan sesuatu yang baru berupa sentuhan horror klasik 80-an. Sempat khawatir bagaimana kelanjutan hegemoni ini karena selama 3 bulan pertama tahun ini, belum ada film horror yang impresif, beberapa Cuma berpotensi namun gagal eksekusi, kebanyakan ya medioker. Untungnya di bulan ini, film horror kembali menggeliat. Setelah Sunyi hadir dengan sesuatu yang cukup unik, sebuah perpaduan sukses meremake film Korea, kini Monty Tiwa turut muncul mempersembahkan sesuatu dengan serius, Pocong The Origin.

ET00006720.jpg

Franchise Horor Pocong sepertinya sesuatu yang personal buat Monty Tiwa. Meski beliau dalam film horror lebih terkenal dengan karya Keramat (2009), franchise Pocong pun tak terlepas dari dia. Pocong 2 adalah salah satu gem film horror Indonesia di era 2000-an, digarap oleh Rudy Soedjarwo, Monty Tiwa ada disana sebagai penulis. Monty Tiwa melanjutkan Pocong 3, namun hasilnya tak sesuai harapan meski saya juga melihat potensi menarik di film itu. Pocong 1? Nah, film ini akan selalu menjadi misteri, seperti apa bentuknya karena film ini dilarang rilis saat itu. Karena tampaknya Monty Tiwa pun penasaran juga, Pocong The Origin dikatakan akan menjadi film horror terakhir yang dibuatnya dengan mengintrepretasi ulang scenario Pocong 1, menarik.

Bercerita mengenai Ananta tersangka pembunuhan yang dieksekusi mati, anaknya bernama Sasti harus mengantar jenazahnya untuk dikuburkan ke kampong halamannya, ditemani seorang supir. Dari awal kita sudah disajikan sesuatu yang menarik dimana Monty Tiwa mengonsep film ini sebagai road-trip horror, dimana aspek horror bukan lagi mengikat disuatu tempat, melainkan sosok yang akan menemani perjalanan mereka. Gangguan-gangguan selama perjalanan akan mengusik mereka.

Bisa dibilang, film ini punya sentuhan klasik ala film-film horror jaman dulu, ataupun mitos-mitos local yang kental. Ini bukan tipe film horror bergaya jumpscare untuk menakuti, meski pun memang ada sedikit-sedikit, dan work buat saya. Tapi secara keseluruhan, film ini lebih condong untuk membuat kita merasa ngeri atau seram, ketimbang mengagetkan atau menakuti, beda loh. Salah satu contohnya yang membekas adalah soal suara nangis yang sukse bikin ngeri, pom bensin, keranda, banyak sekali memorable moment dalam hal menakuti. Maka bisa dibilang film ini termasuk sukses dan menyenangkan dalam asepk horror.

Lalu bagaimana soal cerita? Saya yang kebetulan sudah pernah menonton Pocong 3, merasa film ini punya banyak similiaritas dengan Pocong 3 yang garapan Monty juga. Konflik bapak-anak, disertai mitologi soal ilmu kebal yang menuntunnya menjadi Pocong. Saya jadi berpikir, jangan-jangan Pocong 3 juga adalah bentuk upaya Monty mencoba mengangkat cerita Pocong 1 dengan timeline sekuel? Jadi, melihat konteksnya, saya dengan persepktif sudah menonton franchise Pocong, merasa ceritanya termasuk memuaskan dengan memodifikasi beberapa aspek di film-film terdahulunya. Tentunya yang paling memuaskan adalah melihat bagaimana film ini menjaga aspek mitologi soal Pocong dan ilmu hitam dibaliknya, sesuatu yang mengikat Pocong 2 dan Pocong 3 juga.

Sebenarnya disayangkan trilogy Pocong tidak sepopuler trilogy Kuntilanak yang bisa menyumbang sesuatu ke pop culture seperti Lengsir Wengi dan nama Samantha sendiri yang begitu terngiang. Jelas saja karena Pocong 1 dilarang rilis, sementara Pocong 3 tidak begitu mengesankan. Melihat inti cerita film ini, sempat berharap film ini menggunakan nama yang sudah diperkenalkan trilogy Pocong sebelumnya, seperti nama ilmu sesatnya, nama tokohnya, dll, yang disini dimodifikasi. Tapi ini murni keinginan pribadi saja, karena saya merasa aspek mitologi dalam universe franchise Pocong ini memang menarik. Sayangnya nama The Origin yang saya asumsikan sebagai asal usul, ternyata tidak begitu mewakili, ya, ini bukan asal usul Pocong.

Sayangnya film ini sama seperti Kafir dimana babak 1-2 sudah ditangani dengan sangat baik, tapi justru hancur di babak ke 3. Babak ke 3 bermasalah karena konklusi yang sangat cepat, memunculkan perasaan menggantung yang padahal tidak, tapi ada perasaan “udah? Gitu doing?” Setelah babak 1-2 kita sudah diganggu berbagai macam dedemit, babak ke 3 adalah waktunya Pocong yang menakuti. Padahal postur Surya Saputra sebagai Pocong sudah sangat ideal untuk mengintimidasi. Tapi apadaya, entah kenapa Monty Tiwa tidak memanfaatkan ini untuk bersenang-senang menakut-nakuti dengan Pocong yang sudah dinantikan penontonnya. Pada akhirnya, masalah babak ke 3 benar-benar ada di terlalu cepat, padahal secara cerita dan twistnya sudah bagus.

Terlepas dari mengecewakannya babak ke 3, film ini termasuk menghibur buat saya. Belum lagi secara teknispun film ini terasa solid. Setalah Sunyi, satu lagi film horror Indonesia yang punya sinematografi memukau, bukan Cuma indah yang jangan sampai tanpa substansi, tapi juga memang punya kesan creepy. Pocong akan masuk jajaran film horror yang indah versi saya, bersama dengan Kafir dan Sunyi. Namun khusus untuk Pocong, sinematografi menarik ini didukug dengan pencahayaan yang sangat memukau. Namun aspek teknis yang paling juara di film ini adalah bagian sound. Sound dengan sangat sempurna mengedalikan mood, masuk disaat yang tepat, dan tidak mengganggu saat jumpscare, bahkan suara ukulele disini jadi menyeramkan.

Untuk cast, apresiasi untuk Nadya Arina yang semakin matang dibanding saat di Kafir kemarin (meskipun sayang masalah babak 3 nya sama). Pemainan ekspresinya menakjubkan. Sementara Samuel Rizal pun cukup ok dengan loga jawanya bisa menghasilkan komedi yang lucu. Entah, rasanya penunjukan suku dalam karakter disini reasonable, seperti misalnya yang mendamping Sasti adalah orang Jawa karena stereotype sebagai orang yang sungkanan dan ga enakan membuatnya terlihat sopan saat menanyakan soal almarhum ayahnya ke Sasti. Sementara suku Sunda, ya membuat aspek kesurupannya jadi stereotype dengan “maneh teh saha”. Saya tidak menganggap sebagai kekurangan, maksudku stereotype suku disini ditempatkan pada tempatnya, meski kesannya si Samuel Rizal maksa banget make Bahasa Jawa di banyak konteks, but its ok.

Pocong The Origin menjadi film horror kedua di tahun ini yang akan menjadi favorit saya setelah Sunyi (ah eman DreadOut malah gagal).  PTO akan terasa berkesan karena dia unik dengan sentuhan local yang kuat disertai production value yang solid, ini benar-benar film horror yang digarap serius dengan hati, thank you Monty Tiwa. Tentu saya berharap masih ada film horror lainnya ditahun ini yang tidak Cuma setoran slot tayang tapi kualitas medioker, melainkan yang serius dan berlomba dengan keunikannya masing-masing. Sejauh ini yang diantisipasi ada Perempuan di Tanah Jahanam dari Joko Anwar, berharap Kimo menebus kesalahannya lewat Ratu Ilmu HItam sebuah remake film Suzzanna, dan tentunya lanjutan franchise seperti Danur 3 dimana setelah Sunyi saya berharap Awi Suryadi mempertahankan kualitasnya, dan saya masih berharap dengan franchise Kuntilanak-nya Rizal Mantovani. Aneh? Entahlah, saya berharap Rizal memperlakukan Kuntilanak layaknya sebagai legacy yang harus dibuat serius, sama seperti makna franchise Pocong bagi Monty Tiwa, semoga.

About osyad35

Hai...

Posted on April 20, 2019, in Movie, Tontonan and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. 1 Comment.

  1. style film ini mantap, benar-benar sesuai selera saya.
    terima kasih atas reviewnya. teman saya juga ada yang menulis review tentang film ini https://jurnalfilm.com/review-film-pocong-the-origin/

Leave a comment