[Review Anime] Koi wa Ameagari no You ni (2018): Sulit Mendukung Mereka Bersatu, Tapi Menyenangkan Melihat Mereka Bersama

Satu lagi anime dengan premis yang menarik. Bercerita mengenai kisah cinta beda generasi dimana ada seorang anak SMA yang jatuh cinta dengan om om manager sebuah restoran yang berumur 45 tahun. Alasannya? Dia sendiri tidak tahu. Yah karena premisnya unik, jelas saya ingin mencobanya. Tapi sebenarnya awal ketertarikannya bukan karena itu. Melihat premisnya membuat saya teringat dengan sebuah vide klip random yang saya tonton di YouTube dimana saya tertarik karena ada Nana Komatsu disitu, ternyata setelah saya cari tahu anime ini rilis film live-actionnya dibulan pada 25 Mei, dan yang saya tonton adalah MV soundtracknya. Karena pasti sulit menonton filmnya, dan lama menunggunya, jadi saya coba dulu animenya.

Koi_Ameagari_Portada-950x394.jpg

Melihat kisah cinta dua orang dengan usia yang jauh berbeda punya sensasi unik tersendiri. Tujuan cerita-cerita seperti ini biasanya memberi gambaran kita mengenai bagiamana dua orang dengan pola pikir yang berbeda mencari persamaan untuk kemudian alur berjalan mempersatukan mereka. Uniknya hal itu tidak terjadi dengan anime ini. Seperti yang saya bilang di judul, sulit melihat  Akira Tachibana dan Masami Kondo untuk bersatu. Arahnya benar, kedua orang ini mempunyai pola pikir yang jauh berbeda, keduanya juga pada akhirnya punya beberapa kesamaan, tapi tujuannya tidak pernah tercapai, setidaknya di anime ini. Tapi uniknya lagi, meski tujuannya tidak tercapai, bukan berarti anime ini tidak memuaskan, justru dengan ketidak jelasan soal plot romantisnya membuat anime ini bersinar dengan caranya sendiri. Bagaimana bisa? Mari saya jelaskan.

Anime ini sangat saya puji mengenai bagaimana membumi dan realistisnya dalam menyajikan asmara 2 generasi. Tachibana terlihat kesulitan mendekati om Kondo, meski dengan cara terang-terangan sekalipun dimana dia bingung mencari bahan obrolan, dan bagaimana ucapannya kadang agak sedikit menyinggung karena tidak paham dengan konteksnya dan wawasannya yang begitu alakadarnya. Begitupun sebaliknya, Kondo cukup kaget dengan langkah Tachibana dimana dengan umur yang sudah segitu dengan segala nada kepesimisan yang wajar, ditambah betapa kikuknya dia ketika berada dilingkungan yang penuh anak muda, segalah hal tentang hal itu yang membuat saya suka betapa suksesnya anime ini menggambarkan tekanan mental yang ada bagi Kondo sebagai om om yang berjalan dengan anak muda. Tentu saja cara semua itu ditunjukan tidak dengan dramatisasi berlebihan ataupun cringe, karena eksekusinya masih membumi dan nyaman untuk ditonton.

Kemudian seiring berjalannya anime ini, mulai tampaklah persamaan yang bisa menghubungkan mereka berdua, mengenai cerita pribadinya yang mernyerah pada sesuatu yang penting baginya, dunia lari bagi Tachibana, dan dunia sastra bagi Kondo. Cerita pribadinya ini lah yang membuat saya semakin tertarik dan lega dari terhindarnya anime ini akan potensi kebosanan. Bagaimana mereka mengatasi masalah pribadi masing-masing memberi warna yang menarik pada anime ini. Pada akhirnya, plot romantisnya sendiri seperti kisah kebanyakan anime romance umumnya, mengambang tak ada kepastian, open ending, tapi ending yang memuaskan pula. Iya plot romantisnya kurang bikin baper, tapi anime ini tetaplah menarik.

Awalnya anime ini kesannya biasa-bisasa saja, saat fokusnya masih ke Tachibana mengagumi om Kondo. Ceritanya masih tipis, alurnya yang lambat, dan jika rencana mau marathon mungkin tidak begitu bikin nagih, masih asik jika mau dipotong nonton per episode per hari atau minggu. Tapi setelah mulai fokus ke om Kondo, mulai lah cerita berjalan menarik. Sudut pandang Kondo benar-benar menarik buat saya, memperlihatkan bagaimana tekanan mentalnya, melihat bagaimana kepesimisan ala orang berumur, sudut pandangnya benar-benar memberi saya banyak pelajaran dan memahami kondisinya yang saya sebagai penontonpun terasa ikut masuk kedunianya. Semenjak itu cerita berjalan menarik.

Memang saya sulit mendukung mereka untuk bersatu, segala kekikukan yang ada benar-benar membuat saya tak nyaman. Bagi saya, sangat aneh melihat mereka nanti sebagai pasangan. Tapi, di sisi lain, saya sangat suka melihat mereka bersama. Karena di tiap kebersamaan mereka, ada pengembangan karakter yang terasa. Setiap mereka melakukan interaksi, dengan persamaan mereka yang sudah saya sebutkan, segala interaksi itu pada akhirnya berguna untuk masalah pribadi mereka. Tachibana pada akhirnya belajar tentang kedewasaan, belajar naif lagi, belajar sesuatu yang baru, pola pikir baru, dunia baru. Sementara Kondo melihat Tachibana membuatnya teringat lagi soal semangat masa muda, soal mencari kenaifannya yang hilang, mengevaluasi segala kesalahan masa mudanya. Interaksi mereka membuat keduanya belajar satu sama lain dan berguna bagi permasalahan pribadi mereka dengan cara yang tak terlalu gamblang tapi smooth, itu yang saya suka. Meski tetap sulit melihat mereka sebagai pasangan, dan bukan Cuma saya, om Kondo pun merasakan hal yang sama, tapi menyenangkan melihat mereka bersama untuk kemudian kembali ke kehidupan masing-masing menyelesaiakn masalahnya.

Soal teknis, saya suka gambarnya, meskipun tonenya terasa terlalu cerah karena dominasi warna pink dan biru cerahnya. Gambarnya membuat Tachibana terasa sangatcantik dan seksi, iya kurang ajar ini gambarnya beberapa part ada yang nunjukin sisi seksi Tachibana, padahal tubuhnya ya ala anak SMA pada umumnya. Kemudian temponya yang lambat juga karena anime ini cukup hening karena memilih menggambarkan suasana tempat dengan puitis, melihatkan ­shot shot seperti close up bagian tubuh, long shot jalan, hingga beberapa benda esensial.

Well, saya tak sabar ingin menonton versi filmnya karena beberapa factor. Pertama jelas Nana Komatsu yang cantik dan rasanya terasa akurat secara visual fisiknya. Kedua, pemeran Kondo yang saya lupa nama aslinya, cukup sesuai dengan yang saya harapkan meski tidak akurat secara fisik dan wajah, kebalikannya Nana Komatsu, tapi dari segi acting sudah tidak diragukan. Ketiga, karena cerita yang ada di animenya rasanya sangat terasa pas kalau mau di filmkan, kelihatanlah potensinya. Secara keseluruhan, anime ini bagi saya memuaskan. Memang ini bukan anime romance yang diharapkan, tapi ini adalah anime slice of life yang sangat berkesan.

About osyad35

Hai...

Posted on June 3, 2018, in Tontonan, TV Series and tagged , , , , . Bookmark the permalink. 7 Comments.

  1. semoga ada anime yg ceritanya yg kebalikannya dari ini hehhe

  2. setuju banget!! saya udah lama nggak nonton anime,bingung aja nyari anime bagus,entah kenapa bosen banget sama anime jaman sekarang,mau itu cerita petualangan,mecha,magic,semuanya kebanyakan fanservice,porsinya berlebihan

    liat2 upcoming 2018 anime trailer nemu beberapa yang keliatan menarik,pertama violet evergarden,kedua koi wa ameagari no youni yang lagu latar trailernya bikin tertarik,lagu ending koi wa ameagari no youni,akhirnya bisa nonton 2 nya,dan pilihanku nggak salah,cerita kedua anime ini nggak mainstream banget,plotnya juga enak dan jelas,tapi koi ame malah nggak diduga jadi favorit,romansanya menurutku malah normal ketimbang anime romance lain yang polanya gitu2 aja dan kebanyakan fanservice,harem dll.

    nikmat banget nonton koiame malem2 di kamar,sambil minum kopi apa susu panas,apalagi kalo hujan,musiknya juga nambah baper,bener2 anime yang refreshing

    tambah seneng lagi live actionnya yang main nana komatsu,castnya perfect! semoga sih aktingnya nggak cringe,soalnya saya biasanya kurang suka drama jepang karena aktingnya kurang natural,terlalu komikal

  3. Kadang kita tertarik dengan sebuah anime karena konsep menarik yg ditawarkan…

  4. Kalo saya biasax gak mau nonton live actionx…. Krn biasa tidak sesuai dgn animex… Jd tetap bertahan di anime… Kecuali mmng dari awal film asli yg bukan dari anime

  5. Menonton ini (animex) diumur 35an sudah ada anak, gimana yah senyum2 sendiri… Merasakan masa2 dulu saat masih mudah… Mksh u anime ini 🤭

  1. Pingback: Koi wa Ameagari no You ni

Leave a comment